Para Ahli Menyebutkan Kerugian Kerusakan Lingkungan Sebesar Rp 271,06 Triliun Dalam Kasus Timah.

Senin, 19 Februari 2024 23:00 WIB | 226 kali Para Ahli Menyebutkan Kerugian Kerusakan Lingkungan Sebesar Rp 271,06 Triliun Dalam Kasus Timah.

JAKARTA - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bambang Hero Saharjo mengungkapkan bahwa total kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kasus dugaan korupsi perdagangan komoditas timah PT Timah Tbk di wilayah IUP sejak tahun 2015 hingga 2022 mencapai Rp271,06 triliun.



Bambang Tbk. Bambang dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, mengatakan bahwa angka kerugian Rp271,06 triliun itu merupakan perhitungan kerugian lingkungan dari penambangan timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.

"Jika seluruh kawasan hutan dan non-hutan digabungkan, maka total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung oleh negara adalah sebesar Rp 271.069.688.018.700," kata Bambang. Pakar forensik kehutanan ini menjelaskan bahwa dalam menghitung kerugian ekologi atau lingkungan, timnya melakukan verifikasi lapangan dan pengamatan citra satelit sejak tahun 2015 hingga 2022. Berdasarkan verifikasi dan pengamatan citra satelit tersebut, diperoleh bukti-bukti yang mengungkap kejahatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu, kegiatan penambangan timah tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan, tetapi juga di dalam kawasan hutan.

"Kami menggunakan satelit pada tahun 2015 untuk merekonstruksi bahwa area yang berwarna merah ini adalah area IUP (izin usaha pertambangan) dan area non-IUP. Kami melacaknya pada tahun 2016, 2017, 2018, 2019, 2020 hingga 2022dan Anda dapat melihat warna merahnya semakin besar, ini hanya salah satu contoh," katanya.



IUP hadir di atas lahan seluas 349.653,574 hektar di tujuh kecamatan di Banca Belitung. Sementara itu, data luas wilayah yang ditambang di tujuh kabupaten tersebut mencapai 170.363,064 hektar. Kabupaten Belitung Timur memiliki luasan wilayah yang ditambang paling tinggi, yaitu mencapai 43.175,372 hektar, sementara IUP-nya hanya 37.535,452 hektar. Bambang mengungkapkan bahwa dari total luas wilayah pertambangan 170.363,064 hektar di tujuh kabupaten di Bangka Belitung, sekitar 75.345,751 hektar berada di dalam kawasan hutan dan 95.017,313 hektar di luar kawasan hutan. Dari 75.345,751 hektar area tambang yang berada di dalam kawasan hutan, 13.875,295 hektar berada di hutan lindung, 59.847,252 hektar di hutan produksi tetap, 77.830 hektar di hutan produksi konversi, dan 1.238,917 hektar di taman hutan raya.

"Bahkan di taman nasional pun ada 306.456 hektar," tambahnya.

Dan dari 170.363,064 hektar konsesi pertambangan, hanya 88.900,462 hektar yang ditemukan memiliki izin pertambangan, sementara 81.462,602 hektar tidak memiliki izin.



Bambang juga mengungkapkan bahwa total luas IUP pertambangan darat dan laut mencapai 915.854,625 hektar, dimana 349.653,574 hektar merupakan IUP pertambangan darat dan 566.201,08 hektar merupakan IUP pertambangan laut.

"Dari 349.653,574 hektar IUP darat, 123.012,010 hektar berada di kawasan hutan," kata Bambang. Lebih lanjut, dari hasil verifikasi tersebut, pihaknya menghitung kerugian ekologis yang ditimbulkan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 tahun 2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran atau kerusakan. Perhitungan tersebut dibagi menjadi kerugian lingkungan di dalam kawasan hutan dan kerugian lingkungan di luar kawasan hutan. Total kerugian lingkungan akibat penambangan timah di dalam kawasan hutan adalah sebesar Rp 223.360 miliar, yaitu biaya kerugian lingkungan (ekologis) sebesar Rp 157.830 miliar, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 60.270 juta, dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 5.260 juta. Sementara itu, kerugian lingkungan akibat penambangan timah di luar kawasan hutan (APL) mencapai Rp 25,87 triliun, dengan rincian biaya kerugian lingkungan sebesar Rp 15,2 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 6,62 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 47,70 triliun.

"Jika seluruh kawasan berhutan dan tidak berhutan digabungkan, maka total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara mencapai Rp 271,06 triliun," kata Bambang.

Ditambah kerugian

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kuntadi, menyatakan bahwa hasil perhitungan ekologi yang dipaparkan Profesor Bambang Hero akan ditambahkan dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari kasus-kasus yang tengah disidik oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

"Saat ini perhitungan kerugian keuangan negara masih dalam proses dan hasilnya akan kami sampaikan nanti," kata Kuntadi. Kuntadi menambahkan bahwa berdasarkan pemaparan Profesor Bambang, sebagian besar lahan yang ditambahkan oleh para pelaku dan tersangka berada di kawasan hutan atau bekas tambang dan seharusnya dipulihkan (reklamasi), namun tidak dilakukan. "Tidak dipulihkan sama sekali, ditinggalkan begitu saja, menyisakan lubang-lubang besar dan rawa-rawa yang tidak sehat bagi lingkungan masyarakat," kata Kuntadi.



Dalam kasus ini, Penyidik Jampidus menetapkan 10 tersangka tindak pidana korupsi dan satu orang tersangka merintangi penyidikan.

Kesepuluh tersangka tersebut adalah General Manager (GM) PT TIN, RL alias TN alias AN, tersangka AA. Selanjutnya adalah SG alias AW dan MBG, pengusaha tambang asal Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Selain itu, Tersangka HT AS, direktur utama CV VIP (perusahaan milik tersangka TN alias AN), Tersangka BY, mantan inspektur jenderal CV VIP, dan Tersangka RI, direktur utama PT SBS. Para tersangka adalah.

Penyidik juga menetapkan dua orang tersangka dari PT Timah Tbk, yaitu MRPT alias RZ selaku direktur utama PT Timah Tbk periode 2016-2021 dan EE alias EML selaku direktur keuangan PT Timah Tbk periode 2017-2018.

Satu orang inisial TT ditetapkan sebagai tersangka karena merintangi penyidikan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.



.
Yuk Bagikan :

Baca Juga