Membangun infrastruktur secara keroyokan kembali dilakukan. Kali ini
di Medan. Tepatnya di Pelabuhan Belawan milik PT Pelindo I (Persero).
Selasa
pagi lalu, di langit terbuka yang cerah di dermaga yang sudah sangat
rapi, Direktur Utama (Dirut) Pelindo I Alfred Natsir bersama Dirut PT
Hutama Karya (Persero) Tri Widjajanto Joedosastro dan Dirut PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk Bintang Perbowo menandatangani perjanjian kerja sama
pembangunan dermaga baru senilai Rp 1,9 triliun. Tiga ribu orang yang
baru saja senam bersama saya di dermaga itu ikut bertepuk tangan
menyaksikannya.
Itulah dermaga baru yang akan jadi unggulan
Pelabuhan Belawan. Itulah dermaga baru yang kedalamannya mencapai 14
meter. Itulah dermaga baru yang dibangun setelah 27 tahun lamanya tidak
pernah ada pembangunan di Belawan.
Tahun ini juga keroyokan itu
dimulai. Tidak banyak prosedur dan liku-liku. Semuanya BUMN: dananya,
desainnya, kontraktornya, dan operatornya. Saya memang terus mendorong
sistem keroyokan seperti ini agar berbagai infrastruktur segera
terwujud.
Bagi BUMN Karya pekerjaan ini juga penting agar banyak
proyek bisa dikerjakan tanpa, misalnya, harus nyogok sana nyogok sini.
Bertriliun-triliun nilai proyek bisa dikerjakan dengan cara yang tidak
kotor seperti di masa lalu. Sekaligus cara ini bisa menjadi jalan
pertobatan bagi BUMN Karya yang selama ini dikenal suka main-main proyek
pemerintah.
Pelindo I sendiri belakangan memang mengalami
kemajuan yang nyata. Laba tahun lalu naik tiga kali lipat menjadi hampir
Rp 300 miliar. Sengketa-sengketa dengan pihak ketiga banyak yang
selesai dengan pendekatan yang bijaksana. Gudang-gudang lama yang kumuh
dan tidak maksimal penggunaannya sudah dibersihkan.
Dermaga
kapal penumpangnya dibangun baru di lokasi yang lebih dekat ke stasiun
kereta api dan lebih dekat dengan akses ke masyarakat lainnya. Dermaga
penumpang yang lama bisa untuk perluasan pelabuhan barang dengan posisi
yang utuh dan menyatu.
Dan yang selalu saya puji adalah ini:
kejelian direksinya untuk melihat peluang baru. “Kami sudah berhasil
mendapatkan hak memandu kapal di Tanjung Ucang,” ujar Alfred Natsir.
Selama ini kapal-kapal yang melintas di sekitar Tanjung Ucang, tidak
jauh dari Batam, dipandu dari Singapura atau Malaysia. Padahal, itu
wilayah perairan Indonesia.
Alfred sudah mengajukan lagi dua
izin untuk pemanduan yang sama di dua kawasan lain di sekitar Karimun
dan Senipah. Di dua perairan Indonesia dekat Selat Malaka itu, sampai
hari ini, kapal-kapal juga masih dipandu dari Singapura dan Malaysia.
“Cita-cita kami selanjutnya lebih besar,” ujar Alfred. “Bisa ikut memandu kapal-kapal di Selat Malaka,” katanya lagi.
Kalau izin itu sudah dirinya peroleh, Alfred akan mengajak
Pelindo-Pelindo lain untuk mengerjakan pekerjaan besar tersebut. Agar
hak pemanduan di Selat Malaka bisa dilakukan pihak Indonesia dalam
posisi agak seimbang dengan Singapura dan Malaysia. “Tidak usah seimbang
lah. Bisa ambil 10 persennya saja sudah luar biasa,” ucap Alfred.
Izin
itu mestinya tidak sulit. Yang mengeluarkannya adalah Kementerian
Perhubungan kita. Alfred terus melakukan usaha untuk mendapatkannya.
Termasuk meningkatkan kemampuan diri agar tidak ada alasan untuk tidak
bisa mendapatkan kepercayaan itu.
Alfred masih punya pekerjaan
besar lain: membangun pelabuhan khusus minyak sawit (CPO) di Kuala
Tanjung, sekitar 200 km dari Medan. Inilah pelabuhan CPO terbesar yang
dibangun BUMN. Juga dengan sistem keroyokan bersama sejumlah BUMN.
Dengan pelabuhan khusus di Kuala Tanjung ini, CPO dari Sumatera bisa
langsung diekspor ke Eropa.
Selama ini CPO Sumatera hanya bisa
keluar melalui kapal-kapal kecil di pelabuhan-pelabuhan dangkal untuk
di-pool di Singapura atau Malaysia. Dengan Kuala Tanjung, pool CPO
dilakukan di dalam negeri. Tahun ini juga pelabuhan khusus ini mulai
dibangun. Semua persiapan sudah selesai dilakukan sejak ide ini lahir
tahun lalu.
Pelindo I juga bikin babak baru di Aceh: pelabuhan
kontainer. Minggu ini untuk pertama kalinya Pelindo I mencoba mengirim
barang dengan menggunakan kontainer langsung ke pelabuhan dekat Kota
Banda Aceh: Pelabuhan Malahayati.
Selama ini orang hanya bisa
kirim kontainer dari Jakarta menggunakan truk melalui jalan darat yang
melelahkan. Biaya per teus Rp 17 juta. Jalan lain: kontainer itu dikirim
dulu ke Belawan, Medan, lalu diangkut dengan truk ke Banda Aceh.
Biayanya Rp 13 juta per teus.
Kini dari Jakarta bisa langsung ke
Malahayati dengan biaya Rp 11 juta per teus. Kalau percobaan jalur baru
kontainer ini lancar dan arus barang meningkat, biaya itu masih bisa
turun lagi.
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Zaini Abdullah
ngotot benar agar Pelindo I berhasil membuka jalur baru yang akan sangat
berarti bagi Aceh itu. Pelabuhannya sendiri memang sudah ada, yakni
bantuan Belanda setelah Aceh dilanda tsunami. Tapi, tidak ada peralatan
crane-nya. Pelindo I yang kemudian diserahi mengelola Malahayati
melengkapinya dengan peralatan bongkar muat kontainer tersebut.
Aceh,
Padang, Bengkulu, Belawan, dan Kuala Tanjung sudah bergerak. Demikian
juga Lampung. Sumatera sudah dikepung pelabuhan yang akan terus
berkembang. Tinggal giliran Jambi dan Palembang yang segera menyusul.
Gubernur dua wilayah ini sudah habis-habisan berjuang. BUMN akan cari
jalan mewujudkannya.
Bukan baru di Pelindo I Alfred Natsir
berprestasi. Sebelumnya, waktu jadi Dirut Pelindo IV, pun dia sangat
berprestasi. Karena itu, dia diminta membenahi Pelindo I yang jeblok. Di
Pelindo I ternyata juga berprestasi.
Orang berprestasi itu biasanya tetap berprestasi: di mana pun ditempatkan. (*)