Jakarta-Peneliti Abdul Jamil Wahab dari National Institute for Research and Innovation (BRIN) menjelaskan bahwa salam antaragama merupakan 1 bentuk upaya dan kesadaran untuk terus peduli terhadap keberagaman di Indonesia.

Dia menganggap pluralisme sebagai perintah Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak memiliki keinginan untuk menghapus jamak bahasa Indonesia.

"Dibutuhkan kejujuran, terutama dari tokoh agama dan masyarakat, untuk mengatakan kepada mereka bahwa perbedaan agama tidak boleh menjadi penyebab diskriminasi sosial, hanya karena mereka memiliki keyakinan yang tidak sama dengan mayoritas masyarakat Indonesia," kata Jamil.dalam sebuah pernyataan di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang dikeluarkan beberapa hari lalu di Ijtima Ulama di Bangka Belitung, mengatakan melalui fatwa bahwa salam antaragama tidak dibenarkan bagi umat Islam. Salam adalah bagian dari Ubudya. Alhasil, Fatwa tersebut menuai pro dan kontra dari kontroversi tersebut.

Menurut Jamil, masyarakat yang melarang penggunaan sapaan antaragama tidak boleh digabungkan dengan sapaan dari agama lain, karena jauh dari anggapan bahwa sapaan merupakan bentuk Ubudiya atau materi ibadah.

" Namun berbagai sapaannya, jika kita memahaminya sebagai salam dan ucapan selamat kepada orang lain, menurut saya tidak ada masalah."Selain itu, jika sapaan antaragama hanya berarti pelafalan dengan menggunakan bahasa yang berbeda atau beragam, menurut para hadirin di hadapan kita, itu tidak menjadi masalah.

Dia juga ingin pemerintah bisa lebih memperhatikan isu kerukunan umat beragama. Pembangunan infrastruktur dinilai penting, namun pentingnya menyediakan ruang dialog lintas keyakinan, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak boleh dikalahkan.

Selain itu, lanjutnya, masyarakat Indonesia baru saja memperingati lahirnya Pancasila. Masyarakat Indonesia harus ingat sekali lagi bahwa anugerah Tuhan yang besar telah dianugerahkan kepada negeri ini.

Tidak hanya keberagaman sosial dan budaya yang mendapat tempat khusus, namun perbedaan keyakinan juga ditampung oleh Pancasila sebagai falsafah kebangsaan.

"Para pendiri negara ini merancang Pancasila sedemikian rupa agar Indonesia dapat menjembatani konsep ketuhanan dan aspek sosial," Jamil

membahas esensi Pancasila sebagai tolak ukur kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan ia mengatakan bahwa pelajaran pertama Pancasila adalah memahami berbagai aspek Indonesia. Dia mengatakan itu bisa dilihat sebagai elemen yang menyatukan keyakinan tersebut.

"Pelajaran pertama Pancasila, " Tuhan Yang Maha Esa", dapat menjawab keinginan berbagai kelompok masyarakat, terutama dari kalangan yang berbeda agama, " katanya

"Sebelumnya ada kata "patuh pada syariat Islam", namun kemudian dihapus dalam keputusan akhir tahun 1945-8-18. Itu. Toh Pancasila hanya memuat" Tuhan Yang Maha Esa "sebagai prinsip pertama," lanjutnya.



Jamil mengatakan sila pertama Pancasila selama ini disepakati bersama karena tidak condong hanya pada satu agama. Hal ini dilakukan karena rancangan sila pertama Pancasila yang masih memuat kata "Syariat Islam" mendapat penolakan dari beberapa pihak yang merasa tidak terwakili olehnya.

Dengan menggunakan kalimat yang lebih umum, Pancasila dapat disepakati karena dianggap tidak diistimewakan oleh agama tertentu. Kesepakatan pelajaran pertama Pancasila juga menjadi akhir perdebatan panjang tentang rumusan dasar negara Indonesia.

Hadirnya konsep ketuhanan dalam butir pertama Pancasila secara langsung menegaskan bahwa negara Indonesia yang digagas oleh pendiri negara bukanlah negara sekuler.Hal ini justru meniadakan kaidah-kaidah agama dalam konstitusinya.

"Konstitusi Indonesia menjamin bahwa semua pemeluk agama sederajat di mata hukum dan negara, bukan hanya mereka yang mayoritas beragama Islam. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia secara hukum mendukung nilai toleransi yang juga diwakili oleh butir "Tuhan Yang Maha Esa" dalam Pancasila, " pungkas Jamil.